sumber : google.com
Membicarakan kinerja anggota DPR tidak akan pernah ada
habisnya, bukan hanya DPR yang memiliki fungsi pengawasan, sesungguhnya
rakyatlah si pemilik fungsi pengawasan terbesar dalam suatu Negara, Sebab di Negara
yang menganut sistem demokrasi, kekuasaan terbesar ada ditangan rakyat. Dari rakyat,
untuk rakyat dan oleh rakyat.
Kinerja yang paling diperhatikan di akhir masa kerja anggota
dewan saat ini adalah fungsi legislasi. Fungsi legislasi merupakan fungsi yang
dijalankan oleh anggota DPR dalam membuat undang-undang (UU). UU yang
dihasilkan dari tahun 2015 sampai tahun 2018 masih jauh dari target program
legislasi nasional (Prolegnas). Kinerja DPR pada tahun 2018 juga ternyata
tidak menunjukkan peningkatan
dibandingkan dengan tahun sebelunya. Dari total 50 RUU di prolegnas tahun 2018,
hanya 4 RUU yang telah diselesaikan, masih ada 46 RUU yang ditargetkan selsai
hingga 2019. Sebelumnya pada tahun 2015, dari total 40 RUU yang ditargetkan di
prolegnas hanya 3 UU yang mampu disahkan. Tahun berikutnya, dari total 51 RUU
yang ditargetkan, hanya 10 UU yang mampu di sahkan, dan pada tahun 2017, dari
total 53 RUU yang ditargetkan, hanya 5 RUU yang berhasil disahkan.
Kurang optimalnya DPR dalam menjalankan fungsi
legislasi dikarenakan ketidakseriusan anggota dewan daam mengusulkan pembuatan
UU ke pemerintah, hal ini dapat dilihat dari sedikitnya anggota dewan yang
berinisiatif dalam pembuatan UU. Selain itu faktor perekruitan calon anggota
Dewan yang kurang memperhatikan tingkat pendidikan dan kapabilitas menjadi polemik.
Hal ini dapat menghambat kinerja dari anggota dewan dikarenakan ketidakmampuan
anggota dewan dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Dihimpun data dari Indopress,
mayoritas tingkat pendidikan anggota DPR RI periode 2014-2019 adalah S2, yaitu sebanyak 212 orang, Gelar terbanyak kedua adalah
S1, sejumlah 187 orang. Anggota Dewan yang tidak memiliki gelar cukup banyak,
137 orang. Gelar S3 sejumlah 22 orang, dan yang bergelar Profesor hanya 5 orang.
sumber : www.indopress.id
Selain
dikarenakan kurangnya kapabilitas anggota dewan, terhambatnya fungsi legislasi
dikarenakan oleh pembahasan RUU yang memakan waktu lama dan terkesan bertele-tele.
Pembahasan akan semakin lama jika ada perdebatan sengit, bahkan berakhir deadlock, sehingga jadwal pembuatan UU
semakin molor dari waktu yang direncanakan. Pembahasan juga akan semakin lama
karena adanya kepentingan politik (partai dan koalisi) yang mendasari dalam
pembahasan UU.
Tahun
2019 merupakan tahun politik, dimana pesta demokrasi diselenggarakan serentak
(pilpres dan pileg), hal tersebut membuat anggota dewan harus membagi fokusnya
antara memenangkan kembali kursi dewan di periode selanjutnya dengan
mengerjakan tugas dan fungsinya yang saat ini diemban sebagai anggota dewan. Anggota
dewan sibuk berkeliling daerah di Indonesia untuk melakukan pendekatan kepada
calon pemilihnya dan memilikirkan logistik serta strategi pemenangan yang akan
diambil. Dan kenyataannya mereka lebih fokus kepada persiapan pemilihan umum legislatif
dibandingkan menjalankan tugas dan fungsinya sebagai anggota dewan.
Kalau
sudah begini, komitmen anggota dewan terhadap rakyat patut dipertanyakan. Lalu bagaimana
dengan beban kerja penyelesaian target prolegnas 50 RUU yang harus diselesaikan
sampai akhir masa jabatan? Apakah akan selesai sesuai dengan target atau malah
menjadi catatan kegagalan anggota dewan dalam menjalankan fungsi legislasinya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar