PAPER
KOMUNIKASI POLITIK
PERDEBATAN UNDANG-UNDANG ITE YANG MENGHAMBAT
IMPLEMENTASI KEBEBASAN PERS
Disusun Guna Memenuhi Syarat
Penilaian Tugas
Mata Kuliah Komunikasi Politik
Semester Ganjil Tahun Akademik
2013/ 2014
Disusun oleh:
Purwati
Rahayu Edarsasi NIM.
14010112140027
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU
POLITIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
TAHUN AKADEMIK 2012/ 2013
KATA PENGANTAR
Pertama marilah kita
panjatkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan inayah-nya kepada kita sehingga tugas makalah yang berjudul kontroversi undang-undang ITE yang
menghambat implementasi kebebasan pers ini dapat selesai tepat pada
waktunya.
Tujuan penulisan
makalah ini bukan hanya sekedar menerangkan isi makalah, tetapi juga
menjelaskan serta mendiskripsikan berbagai inti persoalan yang sesuai dengan
tema/ judul makalah. Harapan atas disusunnya makalah ini semoga dapat diartikan
sebagai suatu pengantar, yang dapat dipahami/ dimengerti sebagai suatu asumsi
penambah wawasan dalam ilmu politik maupun kepemerintahan. Semoga atas
tersusunnya makalah ini dapat berguna bagi semua orang dan diharapkan lebih
praktis dalam pembelajaran maupun pemahaman inti makalah serta bermanfaat dalam
usaha mencerdaskan bangsa dan negara.
Penulis mungucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dalam proses penulisan
makalah ini. Namun “Tiada Gading Yang Tak Retak”, masih terdapat segala
kekurangan yang melekat pada makalah ini, sehingga saran yang membangun selalu
diharapkan dan diterima lapang dada oleh penulis serta terciptanya kesempurnaan
dalam penulisan makalah kedepannya. Terima Kasih.
Semarang, September 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Di Indonesia saat ini peran media massa sangatlah penting.
Hal ini di karenakan media massa merupakan tempat tercepat, terakurat dan dapat
di pertanggungjawabkan beritanya. Dengan mengetahui dan menguasai tekhnologi
maka masyarakat dapat mengetahui seluruh berita yang berada di seluruh dunia
tanpa harus mendatangi satu persatu negara yang sedang heboh dan dapat dikatakan mengetahui
berita yang up to date. Sebagai salah satu contohnya di negara Indonesia,
masyarakat dapat menilai kinerja pemerintah dari tahun ke tahun baik
mengirimnya melalui e-mail maupun media yang lainnya.
Dapat dikatakan peran media massa sangatlah penting bagi
sekolah-sekolah, masyarakat baik desa maupun kota dan yang terpenting media
massa sangatlah penting bagi pemerintah. Bagi pemerintah media massa dapat
digunakan apabila sewaktu-waktu akan menyampaikan berita yang penting maka
dapat melalui media massa yang sering kita lihat bersama seperti televisi.
1.2 TUJUAN
a. Dapat mengetahui apa itu pers.
b. Dapat mengetahui keadaan pers di
Indonesia sebelum dan sesudah masa reformasi.
c. Dapat mengetahui analisis mengapa sampai
terjadi perdebatan pada UU no 11 tahun 2008.
d. Dapat mengetahui contoh kasus dari
implementasi UU no. 11 tahun 2008
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI PERS
Menurut Oemar Seno Adji,
Pers dalam arti sempit, yaitu
penyiaran-penyiaran pikiran, gagasan, atau berita-berita dengan kata tertulis.
Pers dalam arti luas, yaitu memasukkan di
dalamnya semua media mass communications yang memancarkan pikiran dan perasaan
seseorang baik dengan kata-kata tertulis maupun dengan lisan.
Menurut UU No. 40 tahun 1999
tentang Pers, Pers adalah lembaga
sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang
meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta
data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak,
media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Menurut Kustadi Suhandang,
Pers adalah seni atau ketrampilan mencari,
mengumpulkan, mengolah, menyusun, dan menyajikan berita tentang peristiwa yang
terjadi sehari-hari secara indah, dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hati
nurani khalayaknya.
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers
adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945,
dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana
masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi
kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan
kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan
bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Dalam
melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi
setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol
oleh masyarakat.Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk
memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral
dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik
dan menegakkan integritas, serta profesionalisme, pedoman yang menjadikan
landasan moral dan etika profesi dalam pers dikenal dengan kode etik
jurnalistik.
2.2 PERBANDINGAN KEADAAN PERS SAAT MASA ORDE BARU
DAN MASA REFORMASI
Sejak merdeka tahun 1945, Indonesia
sudah beberapa kali mengalami pergantian sistem pemerintahan. Tahun 1945 sampai
1965 dikenal dengan nama sistem pemerintahan orde lama, yang mana merupakan era
presiden Soekarno. Setelah presiden Soekarno tumbang, tampung kekuasaan
diserahkan kepada jenderal Soeharto yang akhirnya melahirkan sistem
pemerintahan orde baru. Orde baru berlangsung dari tahun 1966 sampai tahun
1998. Dikarenakan sudah terlalu lama menjabat dan merajalelanya KKN, presiden
Soeharto digulingkan oleh rakyat Indonesia yang akhirnya melahirkan zaman baru
bagi Indonesia, reformasi. Reformasi berlangsung dari tahun 1998 sampai
sekarang.
Ada banyak peranan yang dilakukan
oleh pers dalam suatu negara dan dalam mewujudkan demokrasi. Namun, agar pers
mampu menjalankan peranannya terutama dalam menunjang demokratisasi maka perlu
adanya kebebasan pers dalam menjalankan tugas serta fungsinya secara
professional. Media masa yang bebas memberikan dasar bagi pembatasan kekuasaan
negara dan dengan demikian adanya kendali atas negara oleh rakyat, sehingga
menjamin hadirnya lembaga-lembaga politik yang demokratis sebagai sarana yang paling
efekif untuk menjalankan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat
itu. Apabila negara mengendalikan media massa maka terhambatnya cara untuk
memberitakan penyalahgunaan wewenang dan korupsi yang dilakukan oleh pejabat
negara.
Pada masa orde baru, pers bisa
dikatakan tidak ada fungsinya untuk warga negara. Pers sangat terlihat hanya
sebagai boneka penguasa. Tidak ada kebebasan berpendapat yang dijanjikan
pemerintah pada awal awal kekuasaan orde baru. Keberadaan pers diawasi secara
ketat oleh pemerintah di bawah naungan departemen penerangan. Hal ini dilakukan
untuk mengantisipasi hal – hal buruk di dalam pemerintahan orde baru sampai di
telinga masyarakat. Pers tidak bisa melakukan apapun selain patuh pada aturan
yang ditetapkan oleh pemerintah. Aspirasi masyarakat untuk pemerintah tidak
tersalurkan sama sekali. Hal ini dikarenakan komunikasi politik yang terjadi
hanya top – down. Artinya pers hanya sebagai komunikator dari pemerintah ke
rakyat. Pers tidak dapat melakukan fungsinya sebagai komunikator dari rakyat ke
pemerintah. Selain itu, pemberitaan yang disalurkan ke masyarakat mengenai
pemerintah harus merupakan berita – berita yang menjunjung tinggi keberhasilan
pemerintah. Yang diberitakan hanyalah sesuatu yang baik. Apabila suatu media
nekat menerbitkan pemberitaan – pemberitaan miring soal pemerintah, bisa di
pastikan nasib media tersebut berada di ujung tanduk.
Sedangkan masa reformasi sering digaung – gaungkan
sebagai masa demokrasi. Yang artinya kebebasan hampir disegala aspek kehidupan,
termasuk dalam hal kepolitikan. Pada masa orde baru, pemenang pemilu sudah bisa
dipastikan, namun pada masa reformasi benar benar merupakan persaingan terbuka.
Dalam hal pengambilan kebijakan, rakyat dapat menyalurkan aspirasinya secara
bebas melalui wakil wakil rakyat maupun media. Walaupun pada kenyataannya saat
ini aspirasi rakyat cenderung tidak didengar, setidaknya tidak ada yang
membungkam rakyat seperti pada masa orde baru.
2.3 ANALISIS PERDEBATAN UU NO 11 TAHUN 2008.
RUU Informasi
dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) mulai dirancang sejak Maret 2003 oleh
Kementerian NegaraKomunikasi dan Informasi (Kominfo). Semula RUU ini dinamakan
RancanganUndang Undang Informasi Komunikasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE).
Akhirnya pada tanggal 25 Maret 2008 pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo)
mengesahkan UU ITE ini. Hadirnya UU ini disambut positif berbagai kalangan
walaupun tidak sedikit juga yang menentangnya.
Bagi yang
kontra, UU ITE ini dilihat sebagai upaya untuk membatasi hak kebebasan
berekspresi dan mengeluarkan pendapat serta bisa menghambat kreativitas
seseorang di dunia maya. Bagi yang setuju, kehadirannya dilihatsebagai langkah
yang tepat untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan penyalahgunaan
internet yang tak terkendali sehingga bisa merugikan orang lain. Kehadiran aturan hukum tersebut dapat
dilihat sebagai bentuk respons pemerintah untuk menjerat orang-orang yang tidak
bertanggung jawab dalam menggunakan internet hingga merugikan masyarakat,
bangsa, dan negara Indonesia.
Pasal yang menjadi perdebatan dalam kebebasan pers :
Pasal
27 ayat (1)
Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Pasal 27 ayat (3)
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran
nama baik.
Pasal 28 ayat (2)
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama,
ras, dan antargolongan (SARA).
Pasal-pasal
tersebut pada dianggap umumnya memuat aturan-aturan yang bersifat lentur, subjektif, dan sangat tergantung interpretasi
pengguna UU ITE ini. UU ITE ini akan menutup jalur demokrasi melalui internet,
dan bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28 tentang kebebasan berpendapat dan
menyampaikan gagasan.
2.4 STUDI
KASUS MULTITAFSIR DARI IMPLEMENTASI UU NO 8 TAHUN 2008
Siapa yang tidak tahu Prita
Mulyasari, mantan pasien RS OMNI Internasional, Alam Sutera. Kasus ini berawal
ketika Prita menulis email tentang tanggapan serta
keluhan atas perlakuan yang diterimanya ke sebuah milis. Email tersebut
kemudian menyebar luas sehingga membuat pihak rumah sakit merasa harus membuat
bantahan atas tuduhan yang dilontarkan oleh Prita ke media cetak serta
mengajukan gugatan hukum baik secara perdata maupun pidana dengan tuduhan pencemaran nama baik.
“Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa
manusia lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat
berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan title international
karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba
pasien, penjualan obat, dan suntikan.”
Yang tersebut di atas
merupakan sebagian kecil kutipan dari email Ibu Prita Mulyasari yang menyebar
di kalangan intern keluarga dan koleganya. Email tersebut berisi keluhan Ibu
Prita mengenai prosedur pelayanan di RS Omni Internasional. Banyak pihak yang menyayangkan penahanan Prita Mulyasari yang dijerat pasal
27 ayat 3 Undang-Undang no 11 tahun
2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik karena akan
mengancam kebebasan berekspresi. Pasal ini menyebutkan:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan atau pencemaran nama baik.”(UU ITE, 27:3).
Beberapa aliansi menilai bahwa rumusan pasal tersebut
sangatlah lentur dan bersifat keranjang sampah dan multiinterpretasi. Rumusan
tersebut tidak hanya menjangkau pembuat muatan tetapi juga penyebar dan para
moderator milis maupun individu yang melakukan forward ke alamat tertentu.
Lebih lanjut, Departemen Komunikasi dan Informatika
menegaskan bahwa tindakan Prita Mulyasari yang menyampaikan keluhan atas jasa
sebuah layanan publik bukanlah merupakan penghinaan. Prita yang mengungkapkan
keluhan terhadap suatu layanan publik melalui email merupakan hak dari seorang
konsumen. Hal itu adalah sah sesuai dengan yang termuat dalam UU No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal 4 huruf d. Pasal itu
berbunyi:
“Hak konsumen adalah hak untuk didengar pendapat dan
keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.”
Oleh karena itu, menanggapi UU pasal 27 ayat 3 UU ITE
unsur `tanpa hak` sebagaimana dimaksud di dalamnya menjadi tidak terpenuhi,
sehingga Pasal 27 ayat (3) tersebut tidak bisa diterapkan untuk kasus ini.
BAB III
KESIMPULAN
Menurut UU No. 40 tahun 1999
tentang Pers, Pers adalah lembaga
sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang
meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta
data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak,
media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Pada masa orde baru, pers bisa
dikatakan tidak ada fungsinya untuk warga negara. Pers sangat terlihat hanya
sebagai boneka penguasa. Sedangkan masa reformasi sering digaung
– gaungkan sebagai masa demokrasi. Yang artinya kebebasan hampir disegala aspek
kehidupan, termasuk dalam hal kepolitikan.
RUU Informasi
dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) mulai dirancang sejak Maret 2003 oleh
Kementerian NegaraKomunikasi dan Informasi (Kominfo). Hadirnya UU ini disambut positif berbagai kalangan walaupun tidak sedikit
juga yang menentangnya. Bagi yang
kontra, UU ITE ini dilihat sebagai upaya untuk membatasi hak kebebasan
berekspresi dan mengeluarkan pendapat serta bisa menghambat kreativitas
seseorang di dunia maya. Bagi yang setuju, kehadirannya dilihatsebagai langkah
yang tepat untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan penyalahgunaan
internet yang tak terkendali sehingga bisa merugikan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
www.kemenag.go.id/file/dokumen/UU1108.pdf
core.kmi.open.ac.uk/download/pdf/11980320.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar