Korupsi di Indonesia
berkembang secara sistematis. Isu korupsi pertama kali diberitakan oleh salah
satu Koran lokal ‘Indonesia Raya’ pada era Orde lama (1951-1956). Berita tersebut
ditulis oleh Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar yang menyebabkan Koran tersebut di
bredel dan keduanya dipenjara karena dianggap sebagai lawan politik Sukarno.
Pada saat itu diduga Ruslan Abdulgani yang menjabat sebagai menteri luar negeri menerima suap dari Lie Hok Thay sebesar
satu setengah juta rupiah.
Orde baru juga tidak luput
dari tindak pidana korupsi. Bahkan pada orde baru, praktik korupsi semakin
menjadi. Kekuasaan yang absolut membuat praktik korupsi tidak lagi terkendali,
dan sulit untuk ditindak. Bahkan, Mantan
Presiden Soeharto yang berkuasa pada masa order baru ditempatkan sebagai
Presiden terkorup sedunia berdasarkan temuan Transparency International 2004 dengan
total perkiraan korupsi sebesar 15-25 miliar dolar AS.
Setelah berakhirnya orde baru, reformasi diharapkan dapat
membuat perubahan untuk Indonesia di segala aspek, termasuk dalam mengurangi
praktik korupsi yang sudah menjamur. Segala perubahan dilakukan demi mengurangi
dan mencegah praktik KKN, mulai dari regulasi, tata kelola pemerintah, struktur
pemerintahan hingga budaya kerja (good governance) diubah semuanya. Meskipun sudah
diubah hingga saat ini kasus-kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan
pejabat dan aparat pemerintah tak berkurang drastis.
Selain itu,
pada masa Reformasi pemilihan pejabat dilakukan dengan cara demokrasi yaitu
melalui sistem pemilihan umum yang dilakukan oleh rakyat untuk memilih
pemimpinnya di legislatif maupun eksekutif. Disinilah uang bisa dimainkan Siapa
yang kuat modal, dialah yang menang, dan itu terbukti. Setelah menjabat, mereka
mencari modal awal tadi untuk balik kembali. Dan setelah itu korupsi berlanjut
terus dan terus. Maka para koruptor juga yang akhirnya naik sebagai pimpinan
daerah serta anggota legislatif baik di pusat maupun di daerah.
Korupsi Indonesia saat ini
sudah seperti sebuah budaya yang sulit untuk dihilangkan. Bermacam-macam usaha
pemerintah dilakukan untuk memberantas korupsi namun ternyata perkembangannya
tak kunjung bisa dihentikan. Ibarat cicak, pemerintah mencoba membunuh tapi saat
dipotong ternyata baru kena ekornya aja, akhirnya ekor tersebut muncul kembali.
Regulasi dibuat diatur oleh undang-undang seakan-akan hanya formalitas semata,
nyatanya regulasi yang dibuat para anggota legislatif di Senayan tidak membuat
takut dan tidak menyebabkan efek jera terhadap tokoh-tokoh yang berpotensi
melakukan korupsi. Mengapa hal itu bisa terjadi? Mungkin salah satu alasan
kurang kuatnya uu dalam mengatur praktik korupsi dikarenakan, anggota dewan
yang tidak berani ambil resiko untuk menguatkan uu tipikor karena mereka sadar
kalau mereka salah satu yang paling berpotensial melakukan praktik korupsi.
Pertanyaannya sekarang, siapa yang mampu mengatasi
permasalahan ini, ketika pemerintah saja tak lagi mampu mengatasinya?